Selasa, 16 November 2010

BER-QURBAN DALAM KONTEKS BERBANGSA DAN BERNEGARA


Dalam setiap kesempatan, pada hari raya Adha selama tujuh hari bagi jamaah haji di Makkah terus mengumandangkan takbir dan  tahmid termasuk membaca talbiyah. Takbir dan tahmid ini artinya, kita mengakui dan menegaskan bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Besar, tidak ada Tuhan selain Allah Yang yang patut dipuji dan disanjung. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Tiada Tuhan yang wajib dan berhak disembah dan diagung-agungkan selain Allah SWT itu jua. Inilah tauhid yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim dan  para Nabi dan Rasul Allah saw.
Tauhid adalah penegasian terhadap seluruh tuhan-tuhan yang ada di dunia ini, baik itu tuhan materi, tuhan kekuasaan, tuhan pangkat dan kedudukan maupun tuhan-tuhan yang lain. Semua tuhan-tuhan itu harus kita singkirkan dari benak pikiran kita.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ini boleh saja misalnya, kita kehilangan pangkat dan kedudukan, jabatan dan kekuasaan, tetapi jangan sampai kita kehilangan keyakinan dan keimanan kita terhadap Allah SWT. Jangan sampai karena jabatan dan kedudukan tadi kemudian kita menyembah, memuji dan mengagungkan kekuasaan dan penguasa, mengorbankan orang lain dan keimanan kita. Bisa saja dalam hidup ini kita kehilangan kekayaan, merugi dalam berdagang, tetapi jangan sampai kita merugi di hadapan Allah SWT. Boleh saja dalam berbangsa ini kita ditimpa krisis sosial, ekonomi dan politik, tetapi jangan sampai kita krisis iman.        
Nabi Ibrahim as. adalah contoh dan teladan figur manusia yang berjiwa tauhid, yang bersedia berkorban untuk mencapai derajat takwa. Ibadah kurban merupakan manifestasi ajaran tauhid yang tidak terlepas dari semangat pemupukan jiwa solidaritas sosial di sekitar kita. Dalam surat al-Hajj ayat 27-28, Allah berfirman:
Dan berserulah kepada manusia untuk melaksanakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta (yang lurus) yang datang dari segenap penjuru  yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut asma Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki yang Allah berikan kepada mereka, berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian dari padanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. 
Memberi makan kepada orang-orang yang sengsara lagi fakir untuk kondisi krisis ekonomi seperti sekarang ini, adalah perbuatan yang amat terpuji. Ith’am al bais al-faqir, adalah merupakan satu kesatuan ayat yang tidak bisa dipisahkan dari inti ajaran tauhid dan iman. Di samping itu semua tugas sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bagi setiap muslim merupakan tanggung jawab sosial yang harus ditunaikan, baik secara individual maupun secara kolektif.
Jika kita gali lebih dalam, sesungguhnya ibadah kurban itu lebih dari sekadar menyembelih binatang ternak, tetapi ia sarat dengan nilai-nilai substansial dan fundamental. Umat Islam diperintahkan untuk memiliki kekokohan iman dalam setiap saat dan waktu, umat Islam diperintahkan untuk mentaati semua perintah Allah, meski tampak berat sekalipun (menyembelih anak misalnya dalam kasus Ibrahim). Umat Islam diperintahkan untuk meyakini sepenuhnya, bahwa apa yang datang dari Allah SWT adalah benar, tidak boleh diragukan. Umat Islam tidak hanya diperintahkan berkorban dan kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepada fakir-miskin, begitu setiap tahun dilakukan ramai-ramai, tetapi pada saat yang sama mereka juga mengorbankan fakir-miskin itu untuk kepentingan pribadinya, ambisi politiknya dan segala macam bentuk mengorbankan orang lain.
Yang diperintahkan oleh Allah SWT adalah berkorban untuk melahirkan nilai-nilai takwa, bukan membuat orang lain jadi korban, atau terkorbankan, seperti yang terjadi selama ini dan beberapa praktik pembangunan yang terjadi di negara-negara sekuler, seperti yang dilukiskan oleh Peter L. Berger dalam Piramida Korban Manusia-nya. Itulah maka Allah menegaskan dalam firman-Nya: “Bukan daging dan darahnya yang sampai kepada Allah, melainkan takwamu”. (QS. Al-Hajj:37).
Jika kita perhatiakn secara cermat, bahwa semua amal ibadah dalam ajaran Islam  hakikatnya merupakan penjabaran dari pelaksanaan tanggung jawab sosial, yang erat kaitannya dengan upaya hubungan kemanusiaan dan peningkatan kesejahteraan sosial, mulai dari shalat, puasa, zakat, haji dan syariat kurban. Misalnya ibadah puasa mengandung hikmah menumbuhkan rasa kasih sayang kepada kaum dhuafa’. Zakat, infaq dan shadaqah memiliki hikmah memberantas sifat kikir dan membantu kaum mustadh’afin dan mengentas kemiskinan. Demikian juga ibadah haji memupuk jiwa ketundukan kepada Tuhan dan memahami makna egalitarianisme dalam masyarakat. Dengan demikian semua ajaran dan ibadah dalam Islam selalu terkait dengan relasi  vertikal dan horizontal, hablun minallah wa hablun minannas.
Orang Islam tidak dibenarkan hidup egois dan melepaskan diri dari tanggung jawab sosialnya. Masing-masing pribadi muslim diperintahkan untuk peka dan ikut bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Dalam hal ini rasulullah saw. sangat benci terhadap orang Islam yang bersikap acuh terhadap kepentingan masyarakat dan mengabaikan perjuangan agamanya, sebagaimana sabda beliau:Barang siapa yang tidak mau mementingkan urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka”.
Kesediaan orang mukmin meyembelih ternak kurban, sebagaimana yang dicontohkan oleh nabi Ibrahim as. merupakan wujud pengamalan iman untuk lebih mendekatkan diri  (taqarrub) kepada Allah SWT. dengan rasa taat dan ikhlas  karena Allah semata. Kemudian, daging kurban yang  dibagi-bagikan kepada fakir-miskin itu, secara kongkret telah menunjukkan kepedulian orang-orang beriman untuk turut melaksanakan ajaran keadilan sosial dan rasa kesetiakawanan yang diajarakan oleh Islam. Sebab, ibadah kurban jelas merupakan pengamalan ajaran  Islam yang melambangkan rasa solidaritas dan kasih sayang antarsesama manusia. Perintah kurban juga merupakan manifestasi kongkret, seberapa jauh Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk senantiasa memiliki perhatian sosial di sekelilingnya. Di samping itu semua tugas sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bagi setiap muslim merupakan tanggung jawab sosial yang harus ditunaikan, baik secara individual maupun secara kolektif, terutama bagi para pemimpinnya.
Dalam perspektif Islam, seorang pemimpin tidak dibenarkan hidup egois dan melepaskan diri dari tanggung jawab sosialnya. Masing-masing pribadi muslim diperintahkan untuk peka dan ikut bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat.  Mereka dituntut untuk berperan aktif dalam mewujudkan pembangunan lahir dan batin, pembangunan manusia seutuhnya, bukan dalam slogan-slogan, tetapi diwujudkan secara kongkret dalam masyarakat. Dalam konteks relasi sosial-Islam, Rasulullah saw. sangat membenci terhadap orang Islam yang bersikap acuh terhadap kepentingan masyarakat dan mengabaikan perjuangan agamanya, sebagaimana sabda beliau:Barang siapa yang tidak mau mementingkan urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka”.
Ibadah kurban yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim juga sejatinya lebih dari sekadar menyembelih ternak kurban untuk dibagi-bagikan kepada fakir dan msikin, tetapi secara substansial ia merupakan ibadah memerangi egoisme dan menyerahkan jalan hidup ini hanya kepada Tuhan semata. Tidak akan pernah terjadi seorang ayah yang karena perintah Allah SWT. bersedia menyembelih anak kesayangannya untuk dijadikan kurban sebagaimana Nabi Ibrahim. Demikian pula  Ismail, yang dengan ikhlas dan lapang dada menerima perintah tersebut untuk dikurbankan. Ini adalah peristiwa yang amat berat dan luar biasa yang harus ditanggung oleh keluarga. Itulah profil pemimpin yang mampu memerangi sikap egoisme. Dari deegoisme inilah kemudian melahirkan sikap toleran dan peduli sosial dari figur seorang pemimpin.
Jika saja pemimpin kita mau mengambil hikmah dari peristiwa kurban ini, maka tidak pernah terjadi krisis yang berkepanjangan seperti ini. Kita perlu belajar dari peristiwa kurban seperti yang dialami oleh Nabi kita Ibrahim as. seorang figur pemimpin yang jauh dari sikap egois, dan bebasa dari  godaan dan rayuan materi (KKN).
Nabi Ibrahim saat itu sempat tergoda oleh rayuan dan bujukan syetan, supaya membatalkan niat berkurban. Tetapi karena kekokohan iman itulah beliau mampu mengatasi segala macam godaan dan cobaan tersebut dan berhasil melepaskan kepentingan pribadinya, melepaskan sikap egoisme dan individualnya untuk tujuan yang lebih mulia.
IDENTITAS PENULIS

Nama                    : Siswahyudianto, S.PdI
Alamat Rumah    : Dsn. Jabon RT 02 RW 03, Desa Jabon, Kalidawir, Tulungagung, 66281. Hp (081 335 422 622).
Pekerjaan               : Pengajar MTsN Pulosari Ngunut Tulungagung