Sabtu, 11 Desember 2010

(Komunitas Jurnalis Peduli Lingkungan-KJPL) bersama MTs N Pulosari


MERCURI PICU HOMOSEKSUALITAS PADA BURUNG

Fauna — Pemberian merkuri dalam dosis rendah pada burung ibis putih ternyata bisa mengubah orientasi seksual burung. Merkuri menyebabkan banyak burung jantan berubah menjadi gay sehingga tak ada yang membuahi burung betina dan populasi anakan pun berkurang.

Kesimpulan tersebut didapatkan dalam penelitian Peter Frederick dari Universitas Florida di Gainesville dan Nilmini Jayasena dari Universitas Peradeniya di Sri Lanka. Hasil penelitiannya sendiri dipublikasikan dalam Proceedings of the Royal Society B yang terbit baru-baru ini.

Untuk mendapat kesimpulan tersebut, mereka mengambil sampel 160 burung ibis putih, mencekokinya dengan metil merkuri, dan mengobservasi setelahnya. Keduanya membagi burung menjadi 4 grup dengan dosis cekokan berbeda, yaitu 0,3 ppm, 0,1 ppm, 0,05 ppm, dan terakhir tak diberi metil merkuri.
Ketiga kelompok burung yang diberi merkuri terbukti secara signifikan berubah menjadi homoseks. Pada dosis 0,3 ppm, 81 persen burung jantan berubah menjadi penyuka sesama jenis. Mereka saling kawin satu sama lain, membangun sarang bersama, dan berduaan hingga beberapa minggu lamanya.
Sementara itu, populasi yang diberi merkuri tetapi tetap heteroseksual menunjukkan kualitas yang rendah dalam memelihara anakan. Frederick mengatakan, jika hal itu terjadi secara berkelanjutan, produksi anakan akan berkurang hingga 50 persen.
Penelitian ini adalah temuan pertama yang mendeskripsikan pengaruh zat kimia pada orientasi seksual hewan. Banyak bahan kimia dilaporkan mampu mengubah hewan jantan tertentu menjadi lebih feminin dan berkurang kesuburannya, tetapi tidak sampai mengubah orientasi seksualnya.
Merkuri sendiri adalah senyawa yang sangat beracun, terutama jika terdapat dalam wujud metil merkuri. Namun, menurut Frederick, sejauh ini tidak ada bukti yang mengungkapkan pengaruh merkuri pada orientasi seksual manusia, kecuali jika dilakukan studi jangka panjang untuk mengetahuinya. (KJPL)
Komunitas Jurnalis Peduli Lingkungan - KJPL





STAF PRESIDEN: LAPORAN GREENPEACE TIDAK AKURAT
Jakarta - Staf khusus Presiden bidang lingkungan Agus Purnomo mengatakan ada ketidakakuratan data pada laporan lembaga swadaya masyarakat Greenpeace di Indonesia.
"Ketidakakuratan data tersebut mengenai luas kerusakan hutan yang akan dikonversi untuk industri serta dana internasional perubahan iklim yang diterima Indonesia bakal dikorupsi," kata Agus Purnomo pada diskusi "Menguak Dusta Greenpeace di Indonesia" di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis.
Menurut dia, pada laporan Greenpeace menyebutkan akan terjadi kerusakan hutan mencapai 63 juta hektar hingga 2030 untuk pengembangan industri pulp dan paper, palm oil, pertambangan, dan energi terbarukan.
Data luas kerusakan hutan di Indonesia pada laporan Greenpeace, menurut Agus, angkanya terlalu besar sehingga dipertanyakan darimana sumbernya.
Setelah ditelusuri melalui kementerian terkait, kata dia, ternyata angkanya tidak sebesar itu."Greenpeace membuat laporan dengan data kerusakan hutan yang sangat besar mungkin untuk menakut-nakuti masyarakat Indonesia," katanya.
Agus menjelaskan, dari penelitian Kementerian Kehutanan menyimpulkan, kerusakan hutan karena konversi hingga 2030 hanya sebesar 24 juta hektare atau hanya sekitar 35 persen dari besaran yang dilaporkan Greenpeace.
Dari 24 juta hektare tersebut, menurut dia, dimanfaatkan untuk hutan tanaman industri, hutan tanaman rakyat, pembangunan industri perkebunan, seperti kelapa sawit dan perkebunan untuk energi terbarukan, seperti pohon jarak.
"Pemanfaatan 24 juta hektar hutan tersebut juga berasal dari sekitar 35,4 juta hektare lahan kritis bukan dari hutan produktif," katanya.
Agus Purnomo juga menilai kebohongan yang dilakukan Greenpeace dalam laporannya, yakni menyebut dana internasional untuk penurunan emisi karbon di Indonesia senilai satu miliar dolar Amerika Serikat akan dikorupsi.
Menurut dia, dana internasional baru akan cair setelah terbukti ada penurunan emisi karbon dari yang dinikmati internasional.
"Saat ini dana tersebut belum cair jadi mana mungkin akan dikorupsi," katanya.
Pada kesempatan tersebut, Agus Purnomo juga memuji buki berjudul "Menguak Dusta Greenpeace di Indonesia" yang dikumpulkan dari berita dan opini di media massa.
Penulis buku "Menguak Dusta Greenpeace di Indonesia", Syarif Hidayatullah, mengatakan, dari studi pustaka yang dilakukannya terhadap berita maupun opini di media massa dirinya mensinyalir gerakan kampanye lingkungan yang dilakukan Greenpeace tidak independen.
"Saya menduga ada pengusaha yang mensponsori laporan Greenpeace," katanya. (KJPL)
Komunitas Jurnalis Peduli Lingkungan - KJPL
MENGURANGI EMISI BISA BERTINDAK SENDIRI
AMPL - Dunia lelah, semua lelah—akibat perundingan bertele-tele di tingkat Kerangka Kerja PBB atas Konvensi Perubahan Iklim. Tidak heran jika gerakan sukarela dari negara pihak kini kian marak. 
Bahkan, ada ide untuk meninggalkan dua raksasa pelepas emisi gas rumah kaca, Amerika Serikat dan China. Secara sains, jika dihitung berapa jumlah emisi gas rumah kaca yang bisa diturunkan dengan kiprah sendiri-sendiri ini, jawabnya: memang tidak (akan) memadai.
Target penurunan emisi yang diajukan Panel Ahli Antarpemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC), yaitu emisi global, harus turun sebesar 50 persen pada 2050 agar kenaikan temperatur dapat dibatasi di bawah 2 derajat celsius dan harus ada pula komitmen negara maju untuk mereduksi emisi sekurang-kurangnya 80 persen pada 2050 dari level tahun 1990.
Ketika menunggu komitmen tersebut tak kunjung disepakati, saat ini sejumlah negara dengan lebih dari 80 persen emisi GRK dunia telah berkomitmen secara sukarela untuk mengurangi emisi mereka.
Sejumlah negara kunci telah membuat peraturan yang telah diterapkan, kebijakan, dan program-program nyata. Yang pasti aksinya benar-benar nyata. Mereka sedang meletakkan fondasi untuk pembangunan rendah karbon mereka.
Negara-negara tersebut, antara lain: Emiter GRK terbesar, China, kini secara internal menerapkan target efisiensi penggunaan energi demi pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam jangka lima tahun ke depan, 2010-2015. Targetnya adalah pengurangan intensitas karbon 40-45 persen pada 2020 dari level pada 2005.
Negara lainnya, yaitu India, yang menargetkan penurunan emisi GRK-nya dengan, antara lain, memberikan subsidi, feed in tariffs—di mana masyarakat bisa menjual listriknya kepada negara dan berbagai kebijakan soal penggunaan energi matahari, juga kebijakan bagi industri yang menerapkan program efisiensi energi.
Kebijakan itu dikenal dengan ”Perform, Achieve, and Trade”. Selain itu juga ada pajak energi bersih bagi pengguna bahan bakar batu bara sebagai pendanaan proyek-proyek energi baru dan terbarukan. Sementara AS sebagai emiter GRK terbesar kedua di dunia kini bergerak dengan Undang-Undang Udara Bersih (Clean Air Act).
Target mereka yaitu penurunan emisi GRK sebesar 17 persen dari level emisi tahun 2005. Negeri Paman Sam ini menerapkan standar emisi baru bagi kendaraan penumpang dan kendaraan berat serta menerapkan pengurangan emisi pada pabrik baru—mulai tahun depan.
Belum lagi Negara Bagian California yang lebih dulu memulai pembangunan rendah karbonnya. Sementara negara-negara anggota Uni Eropa secara bersama-sama dan sendiri-sendiri juga menerapkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan target penurunan emisi GRK hingga 30 persen di bawah level emisi tahun 1990 pada 2020.
Sementara Brasil terus berupaya memerangi deforestasi dan menerapkan targetnya pada tahun 2020. Demikian pula Afrika Selatan, bakal tuan rumah Pertemuan Para Pihak ke-17 (COP-17) Kerangka Kerja PBB atas Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC), sudah merancang program penurunan emisinya.
Belum lagi Indonesia yang tahun lalu berjanji mengurangi emisi GRK hingga 26 persen pada 2020—walau rincian programnya belum dipublikasikan. Mengajak bergerak Sejalan dengan aksi sukarela tersebut, Presiden Meksiko Felipe Calderon pada hari pertama COP-16 UNFCCC menyatakan sikap tegasnya.
Dunia harus berjalan terus ”dengan atau tanpa China dan Amerika Serikat”—keduanya adalah emiter GRK nomor satu (18,72 persen) dan nomor dua (18,33 persen). Sejak diratifikasinya Protokol Kyoto pada 1997 oleh 147 negara—minus China dan AS—pertentangan kepentingan kedua negara terus menjadi penghambat kesepakatan global.
AS menolak kewajiban mengurangi emisi dengan alasan akan memperlambat pertumbuhan ekonominya, sementara di sisi lain akan mendorong pertumbuhan ekonomi China dan India.
Sementara China dan India beralasan masih miskin sehingga perlu meningkatkan pembangunan untuk pertumbuhan ekonominya. Selama ini muncul persepsi bahwa ancaman pemanasan global akan bisa diselesaikan jika AS ”memimpin” dunia untuk bergerak.
Pertarungan melawan pemanasan global disetarakan dengan Perang Dunia II saat AS memimpin negara-negara Sekutu. Calderon menepis persepsi tersebut.
”Jika tidak bisa mendapatkan komitmen mereka, apa perlu menunggu 10 tahun atau lima tahun atau 20 tahun lagi untuk mengawali langkah? Kita harus memulainya dengan atau tanpa mereka dan mari kita mulai dengan memberikan contoh dari diri sendiri ke mana kita menuju,” ujar Calderon.
Meksiko berencana meninggalkan puluhan juta bohlam lampu dan menggantinya dengan lampu hemat energi. (KJPL)
Komunitas Jurnalis Peduli Lingkungan

LIMA GAJAH MATI AKIBAT DIRACUN DI RIAU
Pekanbaru - Lima ekor gajah Sumatera ditemukan mati akibat diracun di dalam areal kerja perusahaan pemegang izin hutan tanaman industri (HTI) PT Citra Sumber Sejahtera di Desa Pauhranap, Kecamatan Peranap, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
“Dugaan sementara, lima gajah mati akibat diracun,” kata Kepala Bidang Wilayah I Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau , Edi Susanto, di Pekanbaru.
Ia menjelaskan, kelima gajah malang itu awalnya ditemukan mati oleh warga setempat pada Jumat (26/11). Dugaan sementara tim dokter hewan dan dana suaka margasatwa (WWF), lanjutnya, penyebab kematian gajah tersebut adalah akibat racun.
Namun, ia mengatakan, modus kejahatan dan jenis racun yang digunakan masih dalam proses penyelidikan.
Menurut dia, kuat dugaan gajah tersebut merupakan satu kelompok. Bangkai gajah ditemukan di dua titik yang masing-masing berjarak 600 meter.
Lokasi pertama ditemukan satu ekor gajah betina yang diperkirakan berusia tiga tahun. Sedangkan, tempat kedua terdapat empat gajah, satu diantaranya berkelamin jantan, dengan perkiraan umur mereka rata-rata 2,5 tahun.
Menurut Edi, kuat dugaan kematian satwa bongsor yang terancam punah itu dilatarbelakangi konflik dengan manusia. Sekitar tempat kejadian sebagian berupa belukar, dan sebagian adalah kebun karet dan sawit masayrakat.
“Posisi kelima gajah yang mati itu berada di lintasan rutin gajah tersebut,” katanya. Ia mengatakan, pihaknya bersama Kepolisian Resor Indragiri Hulu akan mengusut kasus kematian gajah itu hingga tuntas.
Sebelumnya, empat gajah Sumatera juga ditemukan mati akibat racun di daerah Kecamatan Peranap pada tahun 2009. Satwa bongsor itu ditemukan mati di dalam satu perusahaan konsesi setempat. (KJPL)
Komunitas Jurnalis Peduli Lingkungan - KJPL




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar