Jumat, 06 Agustus 2010

Ramadhan Yang Penuh Berkah


PUASA: MENUJU REFORMASI NAFSANI


Written by Ahmad Khabibi Dahlan / Khafaki@yahoo.co.id
Friday, 06 Agustus 2010

Marhaban Ya Ramadhan. Insya Allah minggu depan umat Islam sudah memulai menunaikan ibahdah rutin tahunan, yaitu puasa ramadhan. Itu artinya kita diingatkan kembali untuk introspeksi dan mawas diri dalam hidup dan berkehidupan ini. Bagi umat Islam, bulan ramadhan tersebut merupakan bulan “rehabilitasi citra diri”. Dan reformasi nafsani sebagai manusia yang memiliki predikat ahsan at-taqwim. Karena pada bulan sebelumnya manusia banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran.
Kebetulan di awal kita berpuasa ini juga merupakan momentum peringatan ulang tahun kemerdekaan Negara kita. Momen di mana manusia memiliki peluang emas untuk intropeksi diri. Dan mencari bekal untuk mempersiapkan diri sebelum tiba saatnya nanti harus berurusan dengan Sang penguasa di pengadilan Maha Tinggi ( hasibu qabla an tuhasabu).
Bagi kita bangsa Indonesia, hingga sekarang ini masih mengalami ujian dan cobaan-cobaan. Berbagai gejolak: baik sosial, ekonomi maupun politik terus menghadang. Sejumlah persoalan sejak tahun 1997 hingga saat ini semakin menumpuk. Mulai dari krisis ekonomi. Kebakaran hutan yang melanda berbagai daerah. Pencemaran lingkungan akibat limbah industri. Maraknya korupsi, kolusi, aborsi dan yang baru saja reda. Apalagi terror bom, yang akhir-akhir ini cukup menghebohkan masyarakat. Serta kerusuhan massa di berbagai wilayah di tanah air. Semakin menambah keprihatinan kita. Lantas apa yang harus kita lakukan? Tentu kita harus introspeksi dan menahan diri (berpuasa). Untuk tidak mengikuti hawa nafsu kita. Terutama dalam momentum bulan suci ramadhan dan kemerdekaan bangsa kita ini.

Hakikat Puasa

Secara etimologis, puasa (shaum, shiyam) berarti menahan (al-imsak) . Dan secara syar’i adalah menahan diri dari makan, minum dan hubungan suami-isteri serta segala hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari dengan niat yang tulus karena Allah SWT. Dengan demikian siapa saja – orang mukmin mukallaf – yang sudah memenuhi kriteria di atas. Atau memenuhi syarat dan rukunnya.Berarti secara syar’i sudah sah dan terpenuhi kewajibannya. Tetapi, puasa yang demikian ini baru pada tingkat pemula dan formal belum pada tahap substansinya. Oleh sebab itu, seperti kata Al-Ghazali terdapat tiga tingkatan puasa bagi orang mukmin itu: Pertama, tingkat puasa awam, yaitu puasa yang dikerjakan hanya sekadar memenuhi syarat dan rukunnya saja. Selain itu tidak; Kedua, tingkat puasa khawash. Yaitu puasa yang dikerjakan di samping memenuhi syarat dan rukunnya. Juga harus mampu menahan diri dari perbuatan dosa dan semua bentuk prilaku tercela (al-akhlaq al-madzmumah). Seperti berdusta, dengki, kikir, mengumpat dan seterusnya; Ketiga, tingkat puassa khawash al-khawash. Yaitu puasa yang mampu mencegah dari timbulnya kemauan hati. Untuk tidak mengingat Allah SWT. Puasa tingkat ini adalah puasa hati yang tidak hanya sekadar menahan diri dari hal-hal yang lahiriah (eksoteris) saja. Tetapi sudah meningkat pada persoalan esoteris, ruhani dan nafsani. Puasa peringkat ini hanya mampu dilakukan oleh orang-orang tertentu. Mislanya, para sahabat dan para sufi yang sudah dekat maqam-nya dengan Tuhan. Nah, di manakah posisi kita dalam tiga peringkat di atas? Pertama, kedua atau ketiga? Puasa tingkat pertama (awam) ini pernah disinggung Nabi dalam sabdanya : “Banyak orang yang berpuasa tetapi yang diperoleh hanyalah lapar dan dahaga, selebihnya tidak”. Karena mereka tidak memahami puasa secara benar. Mereka berpuasa tetapi masih mau melakukan prilaku yang tercela. Bahkan banyak orang berpuasa di siang hari tetapi tidak di malam hari. Misalnya, mereka mengumpulkan segala macam jenis makanan dan minuman untuk keperluan berbuka. Bahkan jika dihitung-hitung, belanja di bulan ramadhan melebihi kebiasaan di luar bulan ramadhan. Orang seperti ini tidak ubahnya memindahkan waktu makan dari pagi dan siang ke waktu malam. Atau berlapar-lapar di siang hari dan berkenyang–ria di malam hari. Ada juga yang berpuasa dengan menghabiskan waktu seharian.
Hakikat puasa sesungguhnya merupakan titik tolak manusia beriman. Untuk meniti hidup yang lebih baik dan lebih sempurna dari hari-hari berikutnya. Oleh sebab itu puasa merupakan ibadah yang sangat berat bagi tingkat pemula. Karena ia merupakan ibadah “memerangi hawa nafsu” yang oleh Nabi dikategorikan sebagai jihad yang lebih besar (al-Jihad al-akbar). Yang lebih besar dibanding dengan jihad di medan Badar.
Karena ibadah puasa merupakan titik tolak manusia beriman. Hal ini untuk secara konsisten dan terus-menerus mampu mengendalikan diri. Maka hal ini perlu terus dihayati. Tapi sayangnya seringkali puasa itu hanya dijadikan momentum sesaat (musiman). Untuk melakukan intensitas beribadah untuk selanjutnya di lupakan. Bahkan pada suasana lebaran (Idul Fitri) kita kembali melakukan penyimpangan-penyimpangan. Dan bahkan melepaskan hawa nafsu kita untuk melakukan apa saja: pemborosan, hura-hura. Dan bersenang-senang hingga melampaui batas. Inikah produk manusia berpuasa selama satu bulan? Sayang jika ini terjadi.
Produk manusia berpuasa (ash-Shaimun). Seharusnya, melahirkan sosok manusia yang memiliki prilaku terpuji (al-akhlaq al-mahmudah). Seperti perilaku jujur, rendah hati, santun, dermawan, lapang dada dan sebagainya. Dalam era globalisasi, di mana manusia terpola oleh gaya hidup yang konsumtif, individual, impersonal dan serba materialistik. Maka puasa, diharapkan mampu membendung pengaruh-pengaruh gaya hidup modern tersebut.
Puasa adalah ibadah kesabaran. Yang menurut Al-Ghazali kesabaran itu ada dua macam. Pertama, sabar badani (bersifat fisik). Yaitu sabar dalam melaksanakan ibadah yang diperintahkan Tuhan. Kedua, sabar nafsani (bersifat psikis). Yaitu sabar dalam hal menahan hawa nafsu. Seperti sabar menahan nafsu perut dan farji. Yang disebut dengan iffah. Sabar menahan dari permusuhan dan seteru yang disebut dengan syaja’ah. Sabar menahan diri dari amarah dan angkara murka yang disebut dengan hilm. Sabar menahan diri dari hidup mewah dan berlebihan. Yang disebut dengan zuhd. Sabar dengan ikhlas menerima bagian (rizki) yang telah ditentukan oleh Tuhan. Yang disebut dengan qana’ah. Sabar dari menyimpan rahasia, menerima permintaan maaf orang lain atau lapang dada dan seterusnya.
Dalam arti yang sesungguhnya. Puasa adalah kawah condrodimuko untuk memproduk manusia-manusia taqwa. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah:183 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan padamu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. Dengan demikian, inti berpuasa adalah supaya manusia bertaqwa. Dan taqwa adalah bekal yang paling untuk kelak kemudian di akhirat (lihat QS. Al-Baqarah :197). Oleh sebab itu taqwa harus menjadi atribut bagi orang-orang mukmin.
Sebagaimana yang diindentifikasi oleh Al-Baqi dalam Al-Mu’jam Al-Mufahras Li al-fadz al-Quran al-Karim, kata taqwa disebut dalam Al-Quran mencapai 452 kali. Salah satu ciri orang bertaqwa disebut dalam QS. Ali Imron:133 adalah; orang-orang yang menahan amarah. Dan dia mau memberikan maaf orang lain yang berbuat salah (lapang dada). Nah, ciri di atas sangat berkaitan dengan makna puasa yang sedang kita kerjakan sekarang ini.
Puasa memang ibadah yang sangat agung nilainya. Sehingga Allah sendiri pantas mengistimewakan pahalanya sebagaimana firman-Nya dalam hadist qudsi: “Puasa adalah untuk-Ku dan Aku akan memberikan pahalanya… Bagi orang-orang yang berpuasa ada dua kegembiraan: kegembiraan ketika hendak berbuka puasa dan kegembiraan ketika kita bertemu dengan Allah SWT nanti”. Nah, selamat berpuasa semoga Allah memberikan rahmat dan ‘Inayah-Nya. Amin.


IDENTITAS PENULIS

: Siswahyudianto, S.PdI
: MTsN Pulosari Ngunut Tulungagung. Hp (081 335 422 622).
: GTT.















Silahkan kunjungi Fbi MTs Negeri Pulosari Ngunut

24 komentar:

  1. Fotone penulis jangan suangaarrrrr . . . .
    gerang gerang :D

    BalasHapus
  2. tolong di upload jg foto2 kegitan ektrakurikuler yg ada

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. tlng foto bapak dan ibu guru lainnya jg d tampilkan

    BalasHapus
  5. Okee,,,,,
    Tempate moga moga aja,,,
    pkoknya yg nyentrik2x pasti ku posting :D

    BalasHapus
  6. Jika sya punya banyak file foto, pasti sudah q posting,
    tapi punya sya, foto2x yang baru saja ku potret kemarin.....

    BalasHapus
  7. Okee,,,, kapan kapan tak mintane,
    lek akeh2 posting foto po ndak ke kamban gone :D

    BalasHapus
  8. Semoga pk. Siswahyudianto ,,,
    diberi kesehtan . . . !
    amin99x.....
    karena sudah pecicilan,
    hehehehehehehehehehe :-D

    BalasHapus
  9. Fotone Pak HABIBI yo di pasang, dadi kabeh podo ngerti endi tho Jokone MTs..

    BalasHapus
  10. Habibi said . . .
    nboten usah repot repot,,,,,
    jokone mtsn pulosari masih ada 2,
    aku tak belakangan postinge :D
    heheheheheheheh

    BalasHapus