Rabu, 01 September 2010

bela kaum tertindas

Berpihak Kepada Kaum Lemah

Fakta bahwa Islam lebih dari sekadar sebuah agama formal, tetapi juga risalah yang agung bagi transformasi sosial dibuktikan oleh penekanannya pada perintah shalat dan zakat. Dalam kebanyakan ayat al-Qur’an, shalat tidak pernah disebutkan tanpa diiringi dengan zakat. Orang yang selalu menumpuk kekayaan dan tidak mau mengeluarkan zakatnya dicap sebagai orang yang arogan (al-mustakbirin).

Secara alamiah Islam dimulai dari gerakan moral dan kemanusiaan. Seperti yang dilakukan oleh Nabi sendiri, beliau diutus oleh Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak manusia (Innama Buistu Li utammima Husn al-Akhlaq). Gerakan yang dilakukan Nabi berorientasi pada masalah-masalah pembangunan umat dan pembinaan masyarakat yang bebas dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam bentuk apapun.
Ketika al-Qur’an secara tegas mengutuk penindasan dan ketidakadilan, maka perhatiannya terhadap wujud sosial yang baik dari masyarakat yang egaliter tidak bisa disangkal lagi. Karena itu al-Qur’an juga mempunya konotasi-konotasi sosial ekonomi. Dengan demikian, istilah kafir dalam al-Qur’an tidak hanya bermakna hanya ingkar terhadap Tuhan, melainkan secara tidak langsung juga menentang terhadap keadilan dan kejujuran yang seharusnya diwujudkan dalam masyarakat. Orang yang mengaku beriman kepada Allah dan yang gaib ia harus menunjukkan keberpihakannya (komitmen) terhadap orang-orang yang lemah (al-mustadh’afin) seperti : anak-anak yatim, orang miskin dan orang terlantar serta menegakkan keadilan di muka bumi ini.
Nilai-nilai Islam pada dasarnya bersifat all-embracing bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sesungguhnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya dengan nilai-nilai Islam. Konsep dasar masyarakat dilandaskan pada prinsip keseimbangan dan harmonisasi. Faktor ini tidak bisa dipisahkan walau dapat dibedakan. Pada pengembangan selanjutnya konsep ini akan melahirkan derivasi prinsip-prinsip dasar, yaitu persamaan (musawah), persaudaraan (ukhwah), dan networking (ta’awun).
Di dalam Al-Quran, kita sering kali membaca seruan agar manusia itu beriman, dan kemudian beramal. Dalam surat al-Baqarah ayat kedua misalnya, disebutkan bahwa manusia itu menjadi Muttaqin, pertama-tama yang harus ia miliki adalah iman kemudian mendirikan shalat dan menunaikan zakat (yang terakhir ini tentu bagi yang sudah mampu atau memenuhi kriteria zakat). Di dalam ayat tersebut kita melihat adanya trilogi: iman-shalat-zakat, sementara dalam formulasi lain kita dapat menyimpulakan bahwa iman berujung pada amal, aksi. Artinya, tawhid harus diaktualisasikan. Pusat keimanan Islam memang Tuhan, tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia. Dengan demikian, Islam menjadikan tawhid sebagai pusat dari semua orientasi nilai, sementara pada saat yang sama manusia dilihat sebagai tujuan dari transformasi nilai tersebut. Dalam konteks inilah Islam itu disebut sebagai rahamatan lil-’alamin, rahmat untuk semua manusia bahkan alam semesta.
Dalam hal relasi sosial, Nabi juga menegaskan: “bahwa tidak dianggap sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. Apa yang ditegaskan Nabi ini sebetulnya memiliki makna yang dalam jika dikaitkan denga issu kontemporer dan problema sosial saat ini, misalnya hak asasi manusia (HAM), keadilan, persatuan, pengentasan kemiskinan dan lain-lain. Ini artinya juga, bahwa dimensi Islam tidak hanya bercorak teosentris-vertikal, tetapi juga antroposentris-horizontal. Karena agama diturunkan Tuhan untuk manusia, sementara manusia tidak bisa lepas dari dependensinya dengan manusia lain --atau juga alam lainnya-- maka hubungan timbal balik ini tidak bisa diabaikan. Sehingga dengan demikian ajaran tauhid tidak terlepas dari dimensi sosialnya. Tetapi sejauh manakah kita telah mengkaitkan kehidupan kita (individu) ini dengan yang lain (sosial)?
Ada landasan pemikiran sederhana sebagai pertimbangan tindakan kita untuk membela kaum lemah, diantaranya; Pertama, sindrom kaum lemah berdimensi majemuk, kompleks dan saling berkaitan. Kelemahan penduduk yang terdapat di daerah pedesaan –mungkin- agak sulit diatasi tanpa melakukan rekontruksi atau restrukturisasi sistem ekonomi yang sudah berjalan dan mapan. Padahal untuk melakukan pembenahan tingkat makro itu sama saja dengan melakukan semacam revolusi dan hal ini sudah pasti merupakan masalah yang serius. Minimal kita sebagai jurkam (juru kampanye) moral untuk meningkatkan budaya baca dari pada menonton di tengah masyarakat agar kelemahan di masyarakat sebagai masalah bersama, memperoleh perhatian kolektif, dalam rangka menghentikan dan atau setidak-tidaknya mengurangi meluasnya masalah ini, terutama tentang kerawanan aqidah. Kedua, sindrom keterbelakangan pendidikan. Hal ini kerap kali dianggap sebagai konsekuensi dari dua hal, yaitu struktur sosial yang meletakkan kelompok elite tertentu dalam posisi yang dominan dan sangat determinan terhadap proses pengambilan keputusan krusial, dan system kepercayaan yang masih berakar pemahaman ajaran yang sangat normative. Kita harus mampu membongkar paradigma pendidikan kita terhadap pemahaman agama seperti ini, agama harus harus dipahami secara in-klusif jangan hanya secara eksklusif. Ada tiga aspek terpenting sebagai aksi nyata untuk membela kaum lemah tersebut, yaitu buka mata, buka hati dan buka dompet. Ulurkan sebagain rizki yang anda miliki untuk mereka.
Teristimewa bagi umat Islam, sekarang ini sedang memasuki babak baru, babak manusia suci. Oleh sebab itu marilah kita pertahankan citra diri kita yang suci ini. Dan marilah kita meniti hidup dengan lebih bersemangat, lebih baik dari pada hari-hari dan tahun-tahun sebelumnya. Mari kita berbuat dan berebut kebajikan sebelum datang hari perhitungan (yaum al-hisab), hari dimana keputusan pengadilan Maha Tinggi tiba (Hasibu anfusakum Qabla an-Tuhasabu), demikian sabda Rasul saw.



IDENTITAS PENULIS

Nama : Siswahyudianto, S.PdI
HP : 081 335 422 622.
Pekerjaan : GTT MTsN Pulosari Ngunut dan Anggota Ta’mir Masjid Al-Ma’arif Jabon Kalidawir.

1 komentar: